KECERDASAN EMOSIONAL KEPALA MADRASAH DALAM PENGENDALIAN KONFLIK DI MADRASAH


KECERDASAN EMOSIONAL KEPALA MADRASAH DALAM PENGENDALIAN KONFLIK DI MADRASAH

A.    LATAR BELAKANG

Pendidikan di Indonesia kini terus dikembangkan, terutama sejak reformasi bergulir tahun 1998. Hal ini ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, yang belakangan direvisi oleh oleh Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, dan kini direvisi lagi dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014.[1] Dan, salah satu agenda reformasinya adalah pendelegasian kewenangan pengelolaan pendidikan pada pemerintah daerah. Hanya saja, kewenangan pemerintah daerah terbatas pada aspek pembiayaan, sumber daya manusia dan sarana-prasarana. Sementara untuk aspek-aspek menyangkut kurikulum, pembelajaran, evaluasi dan pengukuran, sarana dan alat pembelajaran, metode dan waktu belajar, buku teks serta alokasi belanja dan penggunaan anggaran, semuanya menjadi kewenangan sekolah. Dalam hal ini, maka kepala sekolah dan para guru dituntut bertanggung jawab terhadap kualitas proses dan hasil belajar guna meningkatkan mutu pendidikan secara nasional.[2]

Inilah era reformasi pendidikan yang sangat monumental dalam sejarah pendidikan di Indonesia, dimana otoritas yang sangat besar diberikan langsung pada sekolah atau madrasah. Sekolah bisa mengembangkan inovasinya masing-masing dalam mengembangkan perlakuan pada siswa dalam belajar, bahkan sekolah diberi kewenangan untuk menetapkan apakah akan fullday school atau partday school dalam penggunaan waktu belajar. Selain itu, apakah sekolah akan menyusun sendiri buku teks yang diajarkan sesuai dengan kurikulum yang disepakati, atau membeli buku-buku karya guru lainnya? Dalam hal ini, hal terpenting sekaligus menjadi titik tekannya adalah bahwa di end product-nya siswa berprestasi, siap diuji, sesuai dengan standar kompetensi yang ditetapkan oleh pemerintah atas usulan masyarakat. Karena itu, bila prestasi siswa menurun, maka masyarakat tidak bisa menyalahkan kantor dinas pendidikan kabupaten/kota. Sebaliknya, mereka bisa bertanya pada kepala sekolah dan para gurunya, karena soal kurikulum dan pembelajaran seluruhnya menjadi kewenangan penuh sekolah.
Berkaca pada agenda reformasi demikian, maka kepala sekolah mendapat tuntutan peran yang sangat besar. Dia harus kuat dan memiliki strong leadership untuk mendorong seluruh gurunya bekerja total dalam mendidik murid-muridnya, memiliki visi untuk kemajuan sekolah, konsisten dengan visinya, tapi tetap demokratis dan menghargai pandangan para koleganya. Kepala sekolah juga harus memiliki ekspektasi yang baik pada para siswanya, memberikan penguatan basic skill untuk anak didiknya, sehingga bisa berkembang dengan baik dalam profesi apapun, dan mampu menciptakan suasanan yang kondusif untuk para guru dan karyawan bekerja, serta menciptakan suasana yang nyaman untuk para siswa belajar.[3] Selanjutnya, Kepala sekolah juga harus dedikatif untuk sekolahnya, dan bekerja total bagi kemajuan sekolahnya. Lantas sekarang, apa yang harus dilakukan kepala sekolah agar proses dan produk pendidikannya berkualitas?

Pertumbuhan sistem pendidikan tanpa mefungsikan pengelolaan atau manajemen pendidikan tidak mungkin dapat membina pertumbuhan sekolah. Prosedur pengelolaan harus diterapkan secara sistematis. Dinamika sistem pendidikan nasional adalah organisasi yang dapat menampung berbagai kemungkinan kegiatan manajemen sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan dinamika masyarakat. Pengelolaan sekolah mencakup ruang lingkup yang sangat luas, di antaranya kesisiwaan, bangunan dan gedung sekolah, personil sekolah, keuanganh sekolah, fasilitas sekolah, proses belajar mengajar, pelayanan kesiswaan, hubungan sekolah dengan masyarakat, dan lain-lain. Selain itu, pengelolaan juga meliputi masalah kepemimpinan, komunikasi, serta hubungan internal dan eksternal. Pengelolaan yang dimaksud adalah kegiatan kepala sekolah dalam menangani tugas dan kewajibannya di sekolah.

Kepala sekolah sebagai pengelola dengan fungsi eksekutif dan kepemimpinan perlu meluruskan kemampuan internalnya dalam merespons berbagai kebutuhan yang mendesak dari lingkungannya. Masa depan masyarakat Indonesia menuju masyarakat industri meminta penanganan dari tenaga profesional. Demikian pula dalam penyelenggaraan pendidikan. Pengelola pendidikan hendaknya menjadi pemimpin pendidikan. Ia harus memahami perspektif-perspektif dalam merumuskan program-program pendidikan. memahami maksud dan tujuan pendidikan yang sedang dikejar oleh usaha pembangunan, serta masalah dan isu yang terlibat di dalamnya. Disinilah perlunya Kemampuan Kepala Sekolah memiliki kompetensi Kecerdasan emosional dalam mengelola Sekolah.


B.    KECERDASAN EMOSIONAL
1.    Pengertian Kecerdasan Emosional

Istilah kecerdasan emosional muncul secara luas pada pertengahan tahun 1990-an. Sebelumnya Gardner (Goleman, dalam Sumidjo, 1999: 51-53) mengemukakan 8 kecerdasan pada manusia (kecerdasan majemuk). Menurut Goleman (dalam Sumidjo, 1999: 50) menyatakan bahwa kecerdasan majemuk yang dikemukakan oleh Gardner adalah manisfestasi dari penolakan akan pandangan intellectual quotient (IQ). Salovey (Goleman dalam Sumidjo, 1999:57), menempatkan kecerdasan pribadi dari Gardner sebagai definisi dasar dari kecerdasan emosional. Kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan antar pribadi dan kecerdasan intrapribadi. Kecerdasan emosi dapat menempatkan emosi individu pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Kecerdasan emosi dapat menempatkan emosi seseorang pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.
Emosi dapat timbul setiap kali individu mendapatkan rangsangan yang dapat mempengaruhi kondisi jiwa dan menimbulkan gejolak dari dalam. Emosi yang dikelola dengan baik dapat dimanfaatkan untuk mendukung keberhasilan dalam berbagai bidang karena pada waktu emosi muncul, individu memiliki energi lebih dan mampu mempengaruhi individu lain. Segala sesuatu yang dihasilkan emosi tersebut bila dimanfaatkan dengan benar dapat diterapkan sebagai sumber energi yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas,mempengaruhi orang lain dan menciptakan hal-hal baru.

Shapiro (2001:5) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai himpunan suatu fungsi jiwa yang melibatkan kemampuan memantau intensitas perasaan atau emosi, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Individu memiliki kecerdasan emosional tinggi memiliki keyakinan tentang dirinya sendiri, penuh antusias, pandai memilah semuanya dan menggunakan informasi sehingga dapat membimbing pikiran dan tindakan.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan dan memahami secara lebih efektif terhadap daya kepekaan emosi yang mencakup kemampuan memotivasi diri sendiri atau orang lain, pengendalian diri, mampu memahami perasaan orang lain dengan efektif, dan mampu mengelola emosi yang dapat digunakan untuk membimbing pikiran untuk mengambil keputusan yang terbaik.

2.   Aspek-aspek Kecerdasan Emosi

Sampai sekarang belum ada alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur kecerdasan emosi seseorang. Walaupun demikian, ada beberapa ciri-ciri yang mengindikasi seseorang memiliki kecerdasan emosional. Goleman (dalam Sumidjo, 1999:45) menyatakan bahwa secara umum ciri-ciri seseorang memiliki kecerdasan emosi adalah mampu memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berfikir serta berempati dan berdoa. Lebih lanjut Goleman (dalam Sumidjo, 1999:58) merinci lagi aspek-aspek kecerdasan emosi secara khusus sebagai berikut :
a.       Mengenali emosi diri, yaitu kemampuan individu yang berfungsi untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu, mencermati perasaan yang muncul.
b.      Mengelola emosi, yaitu kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang timbul karena kegagalan ketrampilan emosi dasar.
c.       Memotivasi diri sendiri, yaitu kemampuan untuk mengatur emosi merupakan alat untuk mencapai tujuan dan sangat penting untuk memotivasi dan menguasai diri.
d.      Mengenali emosi orang lain, kemampuan ini disebut empati, yaitu kemampuan yang bergantung pada kesadaran diri emosional, kemampuan ini merupakan ketrampilan dasar dalam bersosial.
e.       Membina hubungan. Seni membina hubungan sosial merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain, meliputi ketrampilan sosial yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan hubungan antar pribadi.

Emosi ditimbulkan karena adanya perubahan-perubahan pada sistem vasomater otak-otak atau perubahan jasmaniah individu. Misalnya, individu merasa senang, karena ia tertawa bukan tertawa karena senang, dan sedih karena menangis. Menurut Harvey Carr, bahwa emosi adalah penyesuaian organis yang timbul secara otomatis pada manusia dalam menghadapi situasi-situasi tertentu. Misalnya, emosi marah timbul jika organisme dihadapkan pada rintangan yang menghambat kebebasannya untuk bergerak, sehingga semua tenaga dan daya dikerahkan untuk mengatasi rintangan itu dengan diiringi oleh gejala-gejala seperti denyut jantung yang meninggi, pernafasan semakin cepat, dan sebagainya.

3.   Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosi tidak ditentukan sejak lahir tetapi dapat dilakukan melalui proses pembelajaran. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi individu menurut Goleman (dalam Sumidjo, 1999: 267-282), yaitu :
a.       Lingkungan keluarga. Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari emosi. Peran serta orang tua sangat dibutuhkan karena orang tua adalah subyek pertama yang perilakunya diidentifikasi, diinternalisasi yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari kepribadian anak. Kecerdasan emosi ini dapat diajarkan pada saat anak masih bayi dengan contoh-contoh ekspresi. Kehidupan emosi yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak di kemudian hari, sebagai contoh: melatih kebiasaan hidup disiplin danbertanggung jawab, kemampuan berempati, kepedulian, dan sebagainya. Hal ini akan menjadikan anak menjadi lebih mudah untuk menangani dan menenangkan diri dalam menghadapi permasalahan, sehingga anak-anak dapat berkonsentrasi dengan baik dan tidak memiliki banyak masalah tingkah laku seperti tingkah laku kasar dan negatif.
b.      Lingkungan non keluarga. Dalam hal ini adalah lingkungan masyarakat dan lingkungan penduduk. Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan mental anak. Pembelajaran ini biasanya ditunjukkan dalam aktivitas bermain anak seperti bermain peran. Anak berperan sebagai individu di luar dirinya dengan emosi yang menyertainya sehingga anak akan mulai belajar mengerti keadaan orang lain. Pengembangan kecerdasan emosi dapat ditingkatkan melalui berbagai macam bentuk pelatihan diantaranya adalah pelatihan asertivitas, empati dan masih banyak lagi bentuk pelatihan yang lainnya.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang yaitu secara fisik dan psikis. Secara fisik terletak dibagian otak yaitu konteks dan sistem limbik, secara psikis diantarnya meliputi lingkungan keluarga dan lingkungan non keluarga.

4.    Kecerdasan Emosional sebagai Inovasi dalam Pendidikan

Yang diperlukan untuk menjadi seorang administrator yang baik hanyalah sejumlah pengetahuan tentang mengajar dan sejumlah tahun pengalaman sebagai guru, selebihnya dapat dipungut dari pekerjaan (Sutisna, 1989: 13). Kondisi tersebut menunjukkan guru yang diangkat sebagai kepala sekolah tidak memiliki latar belakang pendidikan manajer atau administrator sebagai persyaratan umum, sehingga sekolah-sekolah belum dikelola secara profesional. Pembinaan terhadap pengelola sekolah telah banyak dilakukan untuk meningkatkan kinerja, namun perubahan yang dicapai dari pembinaan atau pelatihan tersebut belum terlihat hasilnya.

Jika pengelola tidak dapat melahirkan ide-ide baru, dipastikan mereka hanyalah berperan sebagai tukang, pelaksana kebijakan, atau teknisi. Mereka bukanlah sebagai sebagai profesional yang sangat dibutuhkan dalam era baru manajemen sekolah yang senantiasa menunggu petunjuk dan tuntutan dari atasan. Kualitas pengelola seperti itu hanya mampu berinisiatif, kurang mnemiliki kemampuan untuk menjadi individu yang counter productive sehingga menciptakan pengikut yang kurang berpikir kritis dan kreatif.

Kemampuan berpikir kritis dalam organisasi adalah mengoordinasikan pikiran-pikiran kreatif menjadi suatu perspektif dengan sikap untuk memenuhi kebutuhan semua pihak yang berkepentingan. Pikiran kritis tersebut bukan hanya muncul dari kecerdasan intelektual semata, melainkan juga muncul darei kecerdasan lain, di antaranya kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional menuntut seseorang untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain, serta menanggapinya dengan tepat menerapkan informasi dan energi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari dengan efektif. Kecerdasan emosional dianggap penting dalam manajemen karena beberapa pertimbangan sebagai berikut :
a.       Setiap pemimpin mempunyai emosi yang bila disadari dan dikendalikan akan menjadi sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi untuk mengelola diri sendiri, orang lain dan organisasi dengan pemikiran pada keberhasilan pencapaian tujuan.
b.      Keberhasilan pengelolaan suatu organisasi yang dilakukan hanya dengan menggunakan akal atau intelegensia, akan dirasa kurang memuaskan bagi semua pihak. Untuk mencapai keberhasilan yang memuaskan bagi semua pihak di samping menggunakan kecerdasan intelektuan pengelola harus menggunakan kecerdasan emosionalnya.
c.       Kecerdasan emosional dalam kepemimpinan merupakan energi pengaktif untuk nilai-nilai-nilai etika seperti kepercayaan, integritas, empati, keluwesan, dan kredibilitas pengelola serta sebagai modal sosial berupa kemampuan membangun dan mempertahankan hubungan-hubungan dalam pengelolaan yang didasarkan pada saling percaya.
d.      Kecerdasan emosional membangun kemampuan pengelola untuk memotivasi diri sendiri dan orang lain, mengungkapkan perasaan batiniah yang diperlukan untuk membangun organisasi yang kokoh dan mampu bersaing di masa depan.
e.       Emosi adalah sistem isyarat yang berfungsi sebagai alarm berupa informasi yang dibutuhkan dan mengarah pada berbagai jalan keluar, aksi, dan perubahan pada saat tertentu dalam kehidupan manusia (Rohiat, 2008: 6).

Kecerdasan emosional membentuk dasar bagi keputusan strategis. Tanpa dasar tersebut, keputusan dan tindakan setelahnya mungkin akan terpecah dan tidak sejalan dengan kesehatan organisasi dalam jangka panjang. Dengan demikian, kecerdasan emosional yang mapan dalam pengelolaan sekolah akan menjadi gaya baru yang akan menggerakkan kegiatan-kegiatan sekolah secara sistematis dan terkontrol dari hal-hal yang negatif.

C.    KECERDASAN EMOSIONAL DALAM KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN
1.    Peran Kepala Sekolah dalam Manajemen Pendidikan
Kepala sekolah adalah guru yang mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah. (Sudarman 2002: 145). Meskipun sebagai guru yang mendapat tugas tambahan kepala sekolah merupakan orang yang paling betanggung jawab terhadap aflikasi prinsif-prinsif administrasi pendidikan yang inovatif di sekolah. Sebagai orang yang mendapat tugas tambahan berarti tugas pokok kepala sekolah tersebut adalah guru yaitu sebagai tenaga pengajar dan pendidik,di sisni berarti dalam suatu sekolah seorang kepala sekolah harus mempunyai tugas sebagai seorang guru yang melaksanakan atau memberikan pelajaran atau mengajar bidang studi tertentu atau memberikan bimbingan. Berati kepala sekolah menduduki dua fungsi yaitu sebagai  tenaga kependidikan dan tenaga pendidik. Hal ini sesuai dikemukakan oleh Sudarwan   tentang jenis-jenis tenaga kependidikan sebagai berikut :
a.       Tenaga pendidik terdiri atas pembimbing, penguji, pengajar, dan pelatih.
b.      Tenaga fungsional pendidikan terdiri atas penilik, pengawas, peneliti dan pengembang di bidang  kependidikan, dan pustakawan.
c.       Tenaga teknis kependidikan, terdiri atas laboran, dan teknisi sumber belajar.
d.      Tenaga pengelola satuan pendidikan,terdiri atas kepala sekolah, direktur, ketua, rector, dan pimpinan satuan pendidikan luar sekolah.
e.       Tenaga lain yang mengurusi masalah-masalah manajerial atau administratif kependidikan (2002: 18).
Pada pembahasan ini penulis meninjau kepala sekolah (presiden direktur sekolah) sebagai tenaga pengelola satuan pendidikan. Mengapa penulis mengambil istilah presden direktur sekolah? Karena istilah ini lebih identik dengan kekuasaan seorang dalam menguasai suatu tempat. Di mana wewenag,tangung jawab dan kebikajsanaan ada di tangan kepala sekolah,sekolah lain atau negara lain tak berhak ikut capur dalam urusan suatu sekolah yang menjadi hak otonomi sekolahnya.

Menurut Mulyono (2008; 153) kepala sekolah harus memiliki kompetensi. Kompetensi yang dimiliki antara lain adalah :
1)      memiliki landasan dan wawasan pendidikan
2)      memahami sekolah sebagai system
3)      memahami manajemen berbasis sekolah
4)      merencanakan pengembangan sekolah
5)      mengelola kurikulum, tenaga kependidikan, sarana prasarana, kesiswaan, keuangan, hubungan masyarakat – sekolah, kelembagaan, sistem informasi sekolah, dan waktu
6)      memimpin sekolah
7)      mengembangkan budaya sekolah
8)      memiliki dan melaksanakan kreativitas, inovasi dan jiwa kewirausahaan
9)      mengembangkan diri
10)  menyusun dan melaksanakan regulasi sekolah
11)  memberdayakan sumber daya sekolah
12)  melakukan koordinasi/ penyerasian
13)  mengambil keputusan secara terampil
14)  melakukan monitoring dan evaluasi
15)  menyiapkan, melaksanakan, dan menindaklanjuti hasil akreditasi
16)  membuat laporan akuntabilitas sekolah
17)  melaksanakan supervisi/ penyeliaan

Seorang kepala sekolah hendaknya memahami betul apa yang menjadi tugas dan perannya disekolah. Jika kepala sekolah mampu memahami tugas dan perannya sebagai seorang kepala sekolah, maka ia akan mudah menjalankan tugasnya, terutama berkenaan dengan manajemen sekolah yang akan dikembangkannya. Bekal kemampuan dalam memahami kompetensi sebagai seorang kepala sekolah ini akan menjadi bekal dalam pelaksanaan kinerja yang harus dilakukannya. Ada banyak kompetensi kepala sekolah yang setidaknya harus sudah dilaksanakan oleh kepala sekolah dalam tugasnya sehari-hari disekolah yang dipimpinnya.

Kompetensi yang dimiliki kepala sekolah adalah memahami bahwa sekolah adalah sebagai suatu sistem yang harus dipimpin, karena kepemimpinan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi orang lain agar bekerja mencapai tujuan dan sasaran yang diharapkan. Jadi kepemimpinan kepala sekolah harus menunjuk kepada suatu proses kegiatan dalam hal memimpin, membimbing, mengontrol perilaku, perasaan serta tingkah laku terhadap orang lain yang ada dibawah pengawasannya.

Fungsi dan tugas kepala sekolah dapat diakronimkan menjadi emanslime (education, manager, administrator, supervisor, leader, inovator, motivator dan entrepreneur). Peran tersebut dapat dilihat secara lebih rinci sebagai berikut.

a.    Kepala Sekolah sebagai Educator (pendidik)
Pendidik adalah orang yang mendidik, sedangkan mendidik diartikan memberikan latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran sehingga pendidikan dapat diartikan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Sebagai seorang pendidik kepala sekolah harus mampu menanamkan, memajukan dan meningkatkan empat macam nilai, yaitu :
ü  mental, hal-hal yang berkaitan dengan sikap batin dan watak manusia,
ü  moral, hal-hal yang berkaitan dengan ajaran baik buruk mengenai perbuatan, sikap dan kewajiban atau moral, dan
ü  fisik, hal-hal yang berkaitan dengan kondisi jasmani atau badan, kesehatan dan penampilan manusia secara lahiriah.
ü  Artistik, hal-hal yang berkaitan kepekaan manusia terhadap seni dan keindahan.

 b.   Kepala Sekolah sebagai Manajer
Seorang manajer atau kepala sekolah hakikatnya adalah seorang perencana, organisator, pemimpin, dan seorang pengendali. Menurut Stoner ada delapan macam fungsi seorang manajer yang perlu dilaksanakan dalam suatu organsisi dan merupakan fungsi kepala sekolah juga yaitu :
ü  kepala sekolah bekerja dengan dan melalui orang lain (work with and through other people).
ü  kepala sekolah bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan (responsible and accountable).
ü  dengan waktu dan sumber yang terbatas seorang Kepala sekolah harus mampu menghadapi berbagai persoalan (managers balance competing goals and set priorities).
ü  kepala sekolah harus berpikir secara analistik dan konsepsional (must think analytically and conceptionally).
ü  kepala sekolah sebagai juru penengah (mediators).
ü  kepala sekolah sebagai politisi (politicians).
ü  kepala sekolah adalah seorang diplomat.
ü  kepala sekolah berfungsi sebagai pengmbil keputusan yang sulit (make difficult decisions).

 c.   Kepala Sekolah sebagai Pemimpin
Kata memimpin memberikan arti memberikan bimbingan, menuntun, mengarahkan dan berjalan didepan (precede). Pemimpin berperilaku untuk membantu organisasi dengan kemampuan maksimal dalam mencapai tujuan. Kepemimpinan adalah satu kekuatan penting dalam rangka pengelolaan, oleh sebab itu kemampuan memimpin secara efektif merupakan kunci untuk menjadi seorang manajer yang efektif. Esensi kepemimpinan adalah kepengikutan (followership), kemauan orang lain atau bawahan untuk mengikuti keinginan pemimpin. Dengan kata lain pemimpin tidak akan terbentuk tanpa bawahan. Menurut Koontz kepala sekolah sebagai pemimpin harus mampu :
ü  mendorong timbulnya kemauan yang kuat dengan penuh semangat dan percaya diri para guru, staf dan siswa dalam melaksanakan tugas masing-masing,
ü  memberikan bimbingan dan mengarahkan para guru, staf dan para siswa serta memberikan dorongan memacu dan berdiri didepan demi kemajuan dan memberikan inspirasi sekolah dalam mencapai tujuan.

d.   Kepala Sekolah sebagai Administrator
Menurut Gorton (Sagala, 2009) bagi kepala sekolah ada tiga alasan penting untuk mengetahui prinsip-prinsip dalam memberikan pelayanan pendidikan yaitu kepala sekolah dapat mengembangkan rencana yang belum memiliki pola organisasi, mengevaluasi dan memperbaiki struktur organisasi, dan membuat rekomendasi dan mengevaluasi rencana struktur yang diusulkan. Semua prinsip dan program pelayanan diorganisasikan sehingga semua aktivitas dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien dengan tujuan akhir membantu mencapai tujuan sekolah. Sebagai administrator juga kepala sekolah hendaknya dapat mengalokasikan anggaran yang memadai bagi upaya peningkatan kompetensi guru yaitu dengan menghargai setiap guru yang berprestasi.

e.    Kepala Sekolah sebagai Supervisor
Secara specifik program supervise menurut Sestina (Sagala 2009) meliputi: membantu guru secara individual dan secara kelompok dalam memecahkan masalah pengajaran; mengkoordinasikan seluruh usaha pengajaran menjadi perilaku edukatif yang terintegrasi dengan baik; menyelenggarakan program latihan berkesinambungan bagi guru-guru; mengusahakan alat-alat yang bermutu dan mencukupi bagi pembelajaran; membangkitkan dan memotivasi kegairahan guru yang kuat untuk mencapai prestasi kerja yang maksimal; membangun hubungan yang baik dan kerjasama antara sekolah, lembaga social dan instansi terkait serta masyarakat.


f.    Kepala Sekolah sebagai Pencipta Iklim Kerja
Budaya dan iklim kerja yang kondusif akan memungkinkan setiap guru lebih termotivasi untuk menunjukkan kinerjanya secara unggul, yang disertai usaha untuk meningkatkan kompetensinya. Oleh karena itu, dalam upaya menciptakan budaya dan iklim kerja yang kondusif, kepala sekolah hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut :
ü  para guru akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang dilakukannya menarik dan menyenangkan,
ü  tujuan kegiatan perlu disusun dengan dengan jelas dan diinformasikan kepada para guru sehingga mereka mengetahui tujuan dia bekerja, para guru juga dapat dilibatkan dalam penyusunan tujuan tersebut,
ü  para guru harus selalu diberitahu tentang dari setiap pekerjaannya,
ü  pemberian hadiah lebih baik dari hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan,
ü  usahakan untuk memenuhi kebutuhan sosio-psiko-fisik guru, sehingga memperoleh kepuasan (Mulyasa, 2003).

 g.   Kepala Sekolah sebagai Wirausahaan
Dalam menerapkan prinsip-prinsip kewirausaan dihubungkan dengan peningkatan kompetensi guru, maka kepala sekolah seyogyanya dapat menciptakan pembaharuan, keunggulan komparatif, serta memanfaatkan berbagai peluang. Kepala sekolah dengan sikap kewirauhasaan yang kuat akan berani melakukan perubahan-perubahan yang inovatif di sekolahnya, termasuk perubahan dalam hal-hal yang berhubungan dengan proses pembelajaran siswa beserta kompetensi gurunya.



D.  KONFLIK DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

1.      Definisi Konflik Lembaga Pendidikan Islam.
Ditinjau dari akar katanya istilah konflik berasal dari kata con-figere, conficium yang artinya benturan menunjuk pada semua bentuk benturan, tabrakan, ketidaksesuaian, pertentangan, perkelahian, oposisi, dan interaksi-interaksi yang bersifat antagonis.

2.      Sumber Konflik di Lembaga Pendidikan Islam Sumber-sumber konflik pada setiap individu yang mengalaminya sangat bervariasi. Hal ini tergantung pada persepsi atau penafsiran individu terhadap lingkungannya. Walaupun demikian, paling tidak sumber-sumber yang menjadi pendahulu terjadinya konflik dalam organisasi antara lain adalah :
a.       Adanya persaingan
b.      Ketergantungan pekerjaan
c.       Kekaburan bidang tugas
d.      Perbedaan tujuan
e.       Problem status
f.       Rintangan komunikasi
g.      Sifat-sifat individu.

Menurut Muhyadi konflik dalam organisasi disebabkan oleh adanya saling ketergantungan kerja, perbedaan tujuan, perbedaan persepsi, dan peningkatan permintaan tenaga ahli. Sedangkan umumnya konflik yang terjadi di sekolah/sekolah Islam dikarenakan :
a.       Adanya perbedaan persepsi terhadap suatu pekerjaan
b.      Perbedaan sifat dan karakteristik yang ada pada setiap individu
c.       Terjadinya salah paham dalam komunikasi
d.      Perbedaan nilai, pandangan, dan tujuan
e.       Tidak menyetujui terhadap butir-butir yang terdapat dalam hasil keputusan
f.       Adanya frustasi dan kejengkelan terkait dengan masalah pribadi yang dialaminya
g.      Berkaitan dengan pertanggung jawaban dalam kerja tim
h.      Persaingan memperebutkan status/promosi
i.        Berkurangnya sumber-sumber tertentu, seperti; kekuasaan, pengaruh, uang, waktu, ruang, popularitas, dan posisi.

3. Tingkatan-Tingkatan Konflik di Lembaga Pendidikan Islam
a.       Konflik Intraperorangan Diantara konflik-konflik penting yang mempengaruhi perilaku dalam organisasi-organisasi dapat disebut konflik yang hanya berkaitan dengan individu tertentu (konflik yang terjadi didalam diri sang individu yang bersangkutan).
b.      Konflik Antarperorangan Konflik antarperorangan timbul antara seorang individu atau banyak individu, dapat bersifat substantive, emosional atau kedua-duanya.
c.       Konflik antar kelompok Konflik antara kelompok yang biasa dalam organisasi-organisasi dan ia menyebabkan tugas koordinasi dan intregasi kegiatan-kegiatan menjadi sulit. Misalnya berupa pertentangan dalam hubungan-hubungan kerja antar personil bidang penjualan dan personil bidang produksi.
d.      Konflik antara Pegawai dengan Manajemen Konflik antara pegawai dengan pimpinan merupakan suatu hal yang penting untuk bisa ditangani dengan baik oleh manajer personalia. Konflik ini mungkin relative lebih sulit karena sering tidak dinyatakan secara terbuka. Umumnya pihak karyawan lebih cenderung untuk diam, meskipun mengalami pertentangan dengan pihak atasan.
e.       Konflik-konflik Konstruktif dan konflik-konflik Destruktif Konflik yang menyebabkan timbulnya manfaat positif bagi kelompok atau organisasi yang bersangkutan bersifat konstruktif, konflik yang menyebabkan kerugian bagi kelompok atau organisasi yang bersangkutan bersifat destruktif.

4. Metode-Metode Pengolahan Konflik
a. Metode stimulasi konflik Metode stimulant konflik meliputi ;
1.      pemasukan atau penempatan orang luar ke dalam kelompok,
2.      penyusunan kembali organisasi,
3.      penawaran bonus, pemberian insentif dan penghargaan untuk mendorong persaingan,
4.      pemilihan manajer-manajer yang tepat,
5.      perlakuan yang berbeda dengan kebiasaan.
b. Metode penyelesaian konflik Ada tiga metode penyelesaian konflik yang sering   digunakan, yaitu ;
1.      Dominasi dan penekanan Dominasi dan penekanan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :
a.       kekerasan, yang bersifat otokratik,
b.      penenangan, merupakan cara yang lebih diplomatis,
c.       penghindaran, dimana manajer menghindar untuk mengambil posisi yang tegas,
d.      aturan mayoritas, mencoba untuk menyelesaikan masalah antar kelompok dengan melakukan pemungutan suara melalui prosedur yang adil.

2.      Kompromi Melalui kompromi, manajer mencoba menyelesaikan konflik melalui pencarian jalan tengah yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Bentuk-bentuk kompromi meliputi pemisahan, dimana pihak-pihak yang sedang bertentangan dipisahkan sampai mereka mencari persetujuan; perwasitan, dimana pihak ketiga (biasanya manajer) diminta memberi pendapat; kembali ke peraturan-peraturan yang berlaku, dimana kemacetan dikembalikan pada ketentuan-ketentuan tertulis yang berlaku dan menyetujui bahwa peraturan-peraturan yang memutuskan penyelesaian konflik; penyuapan, dimana salah satu pihak menerima kompensasi dalam pertukaran untuk tercapainya penyelesaian konflik.
3.      Pemecahan masalah intregatif Ada tiga jenis metode penyelesaian konflik intregatif ;
a.       Konsensus, dimana pihak-pihak yang bertentangan bertemu bersama untuk mencari penyelesaian terbaik masalah mereka, dan bukan mencari kemenangan suatu pihak,
b.      Konfrontasi, dimana pihak-pihak yang saling bertentangan berhadapan menyatakan pendapatnya secara langsung satu sama lain, dan dengan kepemimpinan yang terampil dan kesediaan untuk menerima penyelesaian,
c.       Penggunaan tujuan-tujuan yang lebih, dapat juga menjadi metode penyelesaian konflik bila tujuan tersebut disetujui bersama.

2.3  Manajemen Konflik dengan Pendekatan Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional (emotional quotion) dapat diartikan sebagai kemampuan merasakan dan memahami kepekaan emosi diri maupun emosi orang lain, pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, mampu membaca dan memahami perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, memelihara hubungan baik, menyelesaikan konflik, serta mampu memimpin. Bahkan, para ahli telah memasukkan konsep kecerdasan emosional ini ke wilayah kecerdasan, bukan hanya melihat emosi dan kecerdasan sebagai istilah atau ranah yang kontradiksi secara inheren. Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosional sebagai pencegah terjadinya konflik. Lebih lanjut Goleman mengemukakan, bahwa keefektivan penggunaan teknik pengendalian konflik organisasi akan berdampak positif bagi prestasi organisasi.
                  Studi Rostiana & Ninawati menemukan bahwa kecerdasan emosional  seorang pimpinan berkorelasi signifikan dengan persepsinya terhadap proses pengambilan keputusan. Artinya, semakin matang emosi yang dimiliki seorang pimpinan, maka semakin baik pula persepsinya terhadap proses pengambilan keputusan, dan identifikasi sebuah keputusan yang tepat bisa segera dilakukan.


F. KESIMPULAN

                  Cara atau manajemen konflik organisasi yang bisa diadopsi dan diadaptasi oleh kepala sekolah antara lain:
(1) teknik menghindari,
(2) teknik kompetisi (komando otoritatif),
(3) teknik akomodasi (penyesuaian),
(4) teknik kompromi, dan
(5) teknik kolaborasi (kerjasama) atau pemecahan masalah.
                  Berkaitan dengan penerapan kepemimpinan transformasional dalam manajemen konflik di sekolah  dengan pendekatan kecerdasan emosional, salah satu aspek penting dan substansial adalah pemahaman kepala sekolah terhadap situasi konflik. Untuk memahami situasi konflik ini, ada beberapa faktor yang perlu diselesaikan oleh kepala sekolah, antara lain :
(1) perbedaan-perbedaan tentang fakta-fakta;
(2) perbedaan tentang metode-metode;
(3) perbedaan-perbedaan tentang tujuan-tujuan; dan
(4) perbedaan-perbedaan tentang nilai-nilai.

                  Sedangkan agar kepala sekolah mampu menyelesaikan konflik dengan pendekatan kecerdasan emosional, perlu memiliki kecakapan-kecakapan antara lain :
1)      berdiplomasi dan menggunakan taktik untuk menenangkan orang-orang yang dalam kondisi tegang,
2)      mengidentifikasi hal-hal yang berpotensi konflik, menyelesaikan perbedaan pendapat secara terbuka, dan membantu mendinginkan situasi,
3)      menganjurkan debat dan diskusi secara terbuka,
4)      mengantar ke solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang berkonflik (win-win solution).























DAFTAR PUSTAKA

 [1] Kartono, K., Pemimpin dan Kepemimpinan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), 43
[2] Streers, R.M., Efektivitas Organisasi. Alih bahasa Magdalena Jamin, (Jakarta: Erlangga, 1985), 23
[3] Sulistiyorini, Manajemen Pendidikan Islam, (Surabaya: eLKAF, 2006), 164
[4] Wekley, K.N. dan Yukl, G. A., Perilaku Organisasi dan Psikologi Personalia, Alih Bahasa: M. Sobaruddin, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), 86
[5] Muhyadi, Organisasi, Teori, Struktur dan Proses, (Jakarta: Depdikbud PPLPTKA, 1989), 7
[6] Prim Masrokan Mutohar, Diktat Kuliah Manajemen Pendidikan, (Tulungagung: STAIN, 2005), 108
[7] Sulistiyorini, Manajemen Pendidikan Islam, (Surabaya: eLKAF, 2006), 170
[8] Ibid, 171-173 [9] Hasnadi, Perilaku Guru, http://fuddinbatavia.com/?p=59 (Diakses tanggal 03 November 2011) [10] Ibid [11] Ibid [12] Ibid [13] Ibid [14] Ibid [15] Daniel, Goleman, Emotional Intelligence, Kecerdasan Emosional, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006),



[1] “UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah,” 2014.
[2] Rosyada, “Peran Kepala Sekolah Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan _ UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Official Website,” 2013.
[3] Appandi Hoer dkk, “Peran Kepala Sekolah Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan Agama Islam Melalui Manajemen Berbasis Sekolah,” 2014.

Komentar